2025-05-06 | admin3

Ahli Kesehatan Ingatkan Opini Medis: Antara Etika Fakta dan Tanggung Jawab

Di tengah derasnya arus informasi digital, opini medis kini tak hanya disampaikan di ruang klinik atau jurnal akademik, melainkan juga di media sosial, podcast, bahkan konten video yang viral. Namun, fenomena ini memunculkan kekhawatiran di kalangan profesional kesehatan. Para ahli kini mulai angkat suara, mengingatkan bahwa opini medis bukan sekadar pendapat pribadi, melainkan memiliki dampak luas terhadap keselamatan publik.

Opini Medis: Antara Kebebasan Berpendapat dan Kode Etik

Secara prinsip, setiap individu berhak menyampaikan pendapat. Namun, ketika seorang profesional kesehatan menyampaikan opini yang bersifat medis, maka hal itu harus tunduk pada kaidah keilmuan dan etika kedokteran.

Menurut Dr. Sinta Wulandari, pakar bioetika dari Universitas Indonesia, opini medis tidak boleh keluar dari landasan ilmiah. “Seorang dokter atau ahli kesehatan bukan hanya menyampaikan pendapat, tapi membawa tanggung jawab profesional. Jika informasi yang disampaikan keliru atau menyesatkan, dampaknya bisa langsung terasa pada keputusan masyarakat dalam menjaga kesehatan mereka,” ujarnya.

Fenomena Viral: Risiko Informasi Setengah Benar

Belakangan, muncul berbagai tokoh publik yang kerap mengeluarkan opini medis tanpa data atau dengan menyimpulkan sesuatu secara prematur. Contohnya adalah klaim bahwa “minum air hangat dapat membunuh virus,” atau “vaksin tertentu menyebabkan gangguan otak,” yang tidak memiliki dasar ilmiah namun tersebar luas.

Meskipun ada beberapa pendapat tersebut berasal dari orang dengan latar belakang medis, banyak di antaranya tidak disampaikan sesuai kaidah etik maupun melalui peer review. Akibatnya, masyarakat awam kesulitan membedakan mana pendapat sahih dan mana yang hanya spekulasi.

Etika Profesi: Kewajiban Klarifikasi dan Verifikasi

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan berbagai organisasi profesi kesehatan lainnya telah beberapa kali mengingatkan anggotanya untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan publik, terutama yang dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu kesehatan.

Dr. Andika Tanuwijaya, Ketua Komite Etik IDI, menjelaskan bahwa opini medis seharusnya:

  1. Berdasarkan bukti ilmiah (evidence-based)

  2. Disampaikan dengan bahasa yang tidak menyesatkan

  3. Dilakukan dalam konteks edukatif, bukan untuk mencari sensasi

  4. Menghormati pasien, komunitas, dan rekan sejawat

Ia juga menegaskan bahwa opini yang rajazeus login keliru bisa dikenai sanksi etik dan bahkan hukum jika terbukti menyesatkan publik atau berdampak buruk terhadap kebijakan kesehatan.

Dampak Nyata dari Opini yang Keliru

Kasus-kasus misinformasi medis telah membawa dampak serius. Salah satu contohnya adalah penurunan tingkat vaksinasi akibat opini dari tokoh publik yang meragukan keamanan vaksin. Padahal, data WHO dan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa vaksinasi telah menyelamatkan jutaan nyawa dan mencegah penyebaran penyakit menular.

Opini yang tidak berdasar bisa mengubah sikap publik. Dalam krisis kesehatan seperti pandemi, ini bisa berakibat fatal,” kata Dr. Sinta.

Solusi: Literasi Kesehatan dan Tanggung Jawab Profesi

Agar masyarakat tidak mudah terpengaruh opini yang menyesatkan, para ahli menekankan pentingnya literasi kesehatan. Artinya, masyarakat harus diedukasi untuk memahami informasi kesehatan dari sumber yang terpercaya, seperti WHO, Kemenkes, atau jurnal medis terverifikasi.

Di sisi lain, para tenaga medis juga harus menjadi contoh dalam menyampaikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab. “Gunakan media sosial bukan untuk menyebar ketakutan atau spekulasi, tapi untuk mendidik. Itulah kekuatan sejati dari profesi kita,” ungkap Dr. Andika.

BACA JUGA: Peran Universitas Arab dalam Penelitian Medis: Fokus pada Penyakit Endemik Timur Tengah

Share: Facebook Twitter Linkedin